BUMN Konstruksi Mencatatkan Kinerja yang Rapuh Sepanjang Tahun Lalu

Insights

by brg

BUMN Konstruksi Mencatatkan Kinerja yang Rapuh Sepanjang Tahun Lalu

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang bergerak di sektor konstruksi alias BUMN Karya kembali menjadi sorotan, lantaran mencatatkan kinerja yang rapuh sepanjang tahun lalu.

Di tengah masa pandemi, BUMN Karya dibayangi beban utang yang tinggi. Kondisi itu diperparah dengan raihan pendapatan yang anjlok signifikan. Laba bersih sejumlah emiten pun merosot tajam, bahkan berbalik rugi dengan angka yang signifikan.

Pengamat BUMN dari LM FEB Universitas Indonesia Toto Pranoto menilai, penurunan pendapatan dan laba bahkan kerugian BUMN karya sejatinya sudah bisa diprediksi. Di tengah beratnya menjalankan penugasan pemerintah dalam pembangunan infrastruktur, pandemi covid-19 menjadi faktor yang signifikan sepanjang tahun lalu.

Covid mengakibatkan aktivitas bisnis relatif terhenti, termasuk adanya pembatasan mobilitas barang dan manusia. Di sektor konstruksi, akibatnya minim termin progres pekerjaan proyek yang bisa ditagihkan ke customer.

Alhasil, rata-rata revenue BUMN karya pun turun sampai dengan 70%. "Sementara biaya bunga dan fixed cost lain tetap jalan. Akibatnya mereka rugi atau laba terkoreksi tajam," kata Toto saat dihubungi Kontan.co.id akhir pekan ini.

Sebagai gambaran, PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) pada tahun lalu meraih pendapatan Rp 16,53 triliun, anjlok 39,23% dari tahun sebelumnya. Laba bersih WIKA pun turun signifikan hingga 91,87% menjadi Rp 185,77 miliar.

Jumlah liabilitas jangka pendek WIKA naik menjadi Rp 44,16 triliun dari Rp 30,34 triliun pada 2019. Meski jumlah liabilitas jangka panjang WIKA mengalami penurunan, namun total liabilitas WIKA menanjak jadi Rp 51,45 triliun dari tahun 2019 yang sebesar Rp 42,89 triliun.

Tak jauh beda, PT Adhi Karya Tbk (ADHI) mencatatkan penurunan laba bersih yang signifikan hingga 96,39%. ADHI membukukan laba yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar Rp 23,97 miliar sepanjang tahun lalu.

Jumlah liabilitas ADHI pada tahun 2020 tercatat sebesar Rp 32,51 triliun, naik 9,53% dari tahun sebelumnya yang sebesar Rp 29,68 triliun. Liabilitas jangka pendek ADHI per tahun lalu senilai Rp 27,06 triliun, sedangkan liabilitas jangka panjang sebesar Rp 5,44 triliun.

Kondisi lebih tragis dialami oleh PT Waskita Karya (Persero) Tbk. Mampu mencetak laba sebesar Rp 938,14 miliar pada tahun 2019, WSKT berbalik menderita kerugian hingga Rp 7,38 triliun pada 2020.

Liabilitas jangka pendek WSKT meningkat jadi Rp 48,23 triliun pada 2020 dari sebelumnya Rp 45,02 triliun. Meski total liabilitas menurun dari Rp 93,47 triliun pada 2019 menjadi Rp 89,01 triliun pada 2020, namun bertambahnya jumlah ruas tol milik Waskita yang beroperasi justru menambah beban pinjaman yang mencapai Rp 4,74 triliun atau melonjak 31% secara tahunan.

Pengamat pasar modal Teguh Hidayat mengamini pandemi covid-19 memperparah kondisi keuangan BUMN Karya. Setelah dalam lima tahun belakangan, BUMN Karya sangat masif mengerjakan penugasan infrastruktur pemerintah.

Alhasil, BUMN Karya pun membutuhkan suntikan dana jumbo yang diperoleh mulai dari penyertaan modal, utang konvensional kepada perbankan dan obligasi, right issue, hingga sekuritisasi.

Teguh memberikan gambaran, pada periode hingga 2014, aset Waskita Karya hanya sekitar Rp 10 triliun hingga belasan triliun. Lalu, total aset Waskita pun melesat lebih dari Rp 100 triliun. Pada tahun 2020 total aset WSKT tercatat Rp 105,58 triliun.

"Sebagian besar isinya utang. Sebelum ada pandemi, kondisi itu sebenarnya nggak terlalu masalah. Ketika proyek selesai tepat waktu, pendapatan lancar dan bisa membayar utang. Tapi karena pandemi, proyek tertunda, pembayaran sulit, cicilan utang harus terus jalan," terang Teguh.

Lampu Kuning DER

Dihubungi terpisah, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Abra P. G. Talattov menilai ada sejumlah catatan yang membuat merahnya kinerja BUMN karya pada tahun lalu, selain karena pandemi.

Pertama, piutang dari pihak ketiga yang belum terbayarkan. Hal ini signifikan membebani arus kas BUMN karya. Abra memberikan contoh Waskita Karya yang memiliki total piutang mencapai Rp 11,35 triliun pada tahun lalu. Meningkat dari tahun 2019 yang sebesar Rp 9,8 triliun.

Abra menghitung, rasio piutang terhadap pendapatan Waskita pada tahun 2020 meningkat lebih dari dua kali lipat. Pada 2019, rasio piutang terhadap pendapatan sebesar 30,77%. Pada tahun lalu melesat jadi 70,12%.

"Itu sangat berat ketika pendapatan menurun. Kemampuan perusahaan untuk membayar utang jangka pendek pun semakin berat, apalagi melahirkan biaya-biaya baru," kata Abra saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (11/4).

Kedua, skema serah terima kunci alias turnkey project yang berpengaruh terhadap arus kas perusahaan. Menurut Abra, mesti ada renegosiasi sehingga skema kontrak menjadi progress project. "(Turnkey project) dia baru bisa mendapatkan pembayaran ketika proyek-proyek itu selesai. Sebaiknya ketika ada progres, dilakukan pembayaran," sambung Abra.

Hal penting yang mesti diwaspadai, sambung Abra, ialah meningkatnya rasio utang dibandingkan pendapatan kotor dan ekuitas alias debt to equity ratio (DER). Kata dia, untuk perusahaan yang sudah go public, DER yang wajar adalah 2 kali atau lebih. "Secara umum (risiko) DER 3 itu medium to high, 4 itu tinggi," sebutnya.

Setiap bank pun memiliki syarat DER tertentu dalam memberikan pinjamannya. Jika DER melewati batas covenant, konsekuensinya perusahaan akan sulit melakukan restrukturisasi atau refinancing dalam mengajukan pinjaman baru.

Dalam perhitungan Abra, DER sejumlah emiten BUMN Karya cukup mengkhawatirkan. Pertama, WIKA yang terpantau masih stabil. Yakni 2,4x pada 2018, naik tipis menjadi 2,5x pada 2019 dan merangkak jadi 2,6x pada tahun lalu.

Lalu ADHI, jumlah DER meningkat dari 3,79x pada 2018 menjadi 4,3x pada 2019 dan loncat menjadi 5,8x pada 2020. Waskita Karya juga tidak kalah mengkhawatirkan. DER Waskita pada tahun 2018 tercatat 3,3x. Kemudian turun tipis jadi 3,2x pada 2019, dan melesat jadi 5,4x pada tahun lalu.

Menurut Abra, untuk mempertahankan DER tetap dalam batas aman, BUMN karya memiliki opsi pemanfaatan skema pembiayaan alternatif non-utang seperti factoring, sekuritisasi aset dan divestasi jalan tol. Skema itu diproyeksikan bakal mampu meredakan kebutuhan arus kas dan meredakan sebagian kebutuhan debt funding perusahaan konstruksi ke depannya.

"Misalnya dengan factoring, yaitu salah satu metode pembiayaan dengan cara menjual piutang yang dimiliki ke pihak ketiga. BUMN karya sudah seharusnya mengusahakan itu, mengingat besarnya porsi piutang dalam pendapatan mereka," terang Abra.

Dalam kesempatan berbeda, Toto Pranoto juga menilai divestasi jalan tol terutama untuk Waskita Karya, menjadi hal yang penting untuk pengelolaan arus kas.

Selanjutnya, melakukan refinancing atau restrukturisasi utang. Kepada sindikasi perbankan lokal, terutama terhadap bank-bank negara (Himbara), Toto mengusulkan adanya pengurangan bunga. Misalnya rate pinjaman kredit yang tadinya 9,5% turun menjadi 5%.

"Kan itu lumayan. Sesama punya negara, itu kan seperti kantong kiri dan kantong kanan. Kalau grup (BUMN) karya mangkrak, kredit macet, kan berat juga untuk bank. Jadi biar bisa win-win, sama-sama hidup dan bisa tarik nafas dari beban yang berat," terang Toto.

Selanjutnya, untuk menambal utang jatuh tempo, bisa diterbitkan obligasi baru. Namun, Toto menekankan pemerintah perlu memberikan jaminan terhadap obligasi baru yang nantinya akan diterbitkan oleh BUMN Karya.

Dengan begitu, investor akan merasa aman karena mendapatkan jaminan dari pemerintah. Sehingga, kupon yang didapat bisa lebih murah. "Kalau obligasi dijamin pemerintah, ada kepastian bayar. Kupon bisa turun, itu memudahkan. Sehingga beban utang per tahun bisa dikurangi," pungkas Toto.

Sumber: Kontan