Masa Depan Industri EPC, Tantangan BUMN EPC

Recent Studies

by brg

Masa Depan Industri EPC, Tantangan BUMN EPC

Pemain di industri engineering, procurement & construction (EPC) dalam beberapa tahun terakhir menghadapi masa yang cukup sulit di tengah menurunnya permintaan proyek secara global. Di sektor minyak dan gas, harga minyak masih rendah sehingga memaksa tertundanya, atau berhenti, sebagian besar proyek-proyek energi yang besar. Meskipun harga secara perlahan mulai pulih, sebagian besar perusahaan minyak masih berhati?hati dalam melakukan belanja modal untuk proyek baru. Investasi diproyeksikan meningkat melalui 2018, sejalan dengan kenaikan proyeksi harga minyak, namun tingkat pengeluaran keseluruhan akan tetap jauh di bawah periode bersejarah pada tahun 2012 dan 2013.


Secara umum optimisme pertumbuhan ekonomi global tengah membaik, indeks PMI (Grafik 2) menunjukkan investor memiliki keyakinan akan meningkatnya tingkat permintaan konsumen yang meningkat yang mengindikasikan pertumbuhan ekonomi mulai membaik. Tentu saja kondisi ini mendorong perusahaan manufaktur di berbagai belahan dunia untuk menggenjot kapasitas produksinya guna mengejar pertumbuhan permintaan konsumen. Secara lebih spesifik, investor dapat membuka fasilitas pabrik baru atau menambah kapasitas manufaktur yang ada. Hal ini tentu saja merupakan peluang bagi industri EPC global untuk meningkatkan pendapatannya melalui proyek-proyek baru.

Laporan ENR menyebutkan bahwa dalam jangka menengah secara umum pasar ASEAN saat ini merupakan pasar yang paling diminati oleh berbagai macam perusahaan jasa konstruksi global mengingat satu?satunya pasar yang masih kondusif untuk terus tumbuh di tengah ketidakpastian ekonomi di Amerika, Eropa, dan Timur Tengah. Berdasarkan data dari Oxford Economics (2016) tingkat pertumbuhan ekonomi di ASEAN yang cukup tinggi adalah Vietnam dan Filipina (9% dan 10%), kondisi tersebut mendorong pemerintah setempat untuk meningkatkan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur. Sementara itu Malaysia dan Thailand juga berkomitmen untuk meningkatkan investasi di beberapa sektor, terutama utilitas menjadi potensi pasar menarik bagi bisnis EPC. Hal ini juga tidak jauh berbeda dengan Indonesia yang memiliki potensi pasar yang cukup besar dalam jangka menengah dalam hal investasi sektor infrastruktur. Dibandingkan dengan Filipina maupun Malaysia secara besaran pasar, Indonesia sangat menarik bagi pemain global di industri EPC.

Kondisi di atas juga didukung oleh pernyataan Bank Indonesia Januari lalu dimana pada tahun 2017 mendatang kondisi perekonomian nasional masih cenderung kondusif, meskipun tidak sekuat realisasi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2010 hingga 2012 lalu. Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan, Bank Sentral memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2017 akan berada pada kisaran 5 hingga 5,4 persen. Pertumbuhan ekonomi tersebut akan ditopang oleh permintaan domestik. Adapun dalam jangka menengah, bank sentral memperkirakan perekonomian Indonesia akan tumbuh lebih tinggi. Hal ini ditopang oleh struktur perekonomian yang lebih kuat dan berkualitas. Pertumbuhan ekonomi pada tahun 2018 sampai 2021 akan berada pada kisaran 5,9 hingga 6,3 persen. Ini ditopang oleh inflasi yang rendah. Kondisi ini tentunya secara positif akan berdampak langsung kepada program?program pembangunan yang akan dilaksanakan, termasuk pembangunan infrastruktur.

*

Tantangan industri EPC ke depan

Laporan dari hasil riset PWC (2017) menyebutkan bahwa dalam beberapa tahu terakhir terjadi migrasi yang sangat besar terkait dengan kontrak proyek dari model lump?sum contract ke turnkey contract di mana perusahaan EPC menanggung keseluruhan resiko biaya proyek dan menjamin kesiapan operasional dari proyek. Klien?klien perusahaan EPC baik di sektor swasta dan publik berubah menjadi lebih “risk adverse” (bermain aman) terkait dengan biaya actual proyek, dan mereka mengambil manfaat dari persaingan yang lebih besar untuk penawaran harga. Akibatnya, mereka bisa menuntut isi kontrak kepada EPC. Faktor lain yang membuat perikatan kontrak menjadi lebih ketat adalah pergeseran industri dalam pembiayaan proyek melalui model kemitraan publik swasta (PPP). Pemerintah (terutama negara berkembang) merasa perlu untuk meningkatkan dan memperbaiki infrastruktur yang ada namun mereka tidak memiliki modal yang cukup untuk mendanai proyek?proyek. Pemerintah mendorong perusahaan EPC saat ini untuk ikut berpartisipasi dalam mengerjakan proyek?proyek infrastruktur dengan jalan menanamkan modalnya sendiri, dengan mendapatkan imbal balik kepemilikan saham/bagi hasil keuntungan sebagai gantinya.

Tantangan global lainnya saat ini adalah adanya kecenderungan dari perusahaan?perusahaan EPC Global (terutama China, Korea, dan India) untuk keluar dari pasar tradisional mereka (home markets) dan bersaing dengan pemain EPC di pasar yang mereka tuju . Selama satu dekade perusahaan EPC dari ketiga Negara tersebut telah berhasil membangun posisi kas dan keahlian internal mereka, dan hal tersebut merka jadikan keunggulan kompetitif untuk bersaing di luar. Untuk beberapa proyek besar – dimana mereka mampu membuat elemen modular di dalam negeri? perusahaan EPC China dan Korea dapat memanfaatkan biaya yang lebih rendah, membuat tawaran mereka lebih menarik bagi pembeli. Namun mereka juga dapat membawa skala dan tenaga kerja untuk proyek?proyek tradisional di lokasi konstruksi. Bahkan jika pemain?pemain lainnya terus memenangkan kontrak, margin cenderung lebih rendah dari apa yang telah mereka hasilkan di masa lalu. Hal ini didukung oleh data dari ENR dimana pasar lokal (Indonesia) saat ini terdapat kurang lebih 70 pemain global (didominasi oleh perusahaan EPC China, Jepang, dan Korea) yang ikut meramaikan pesta investasi infrastruktur. Dengan kondisi pasar dimana tingkat elastisitas harga yang tinggi (0.7 dari 1) di bisnis ini (Frost & Sullivan, 2012) mengakibatkan biaya switching cost yang rendah bagi klien sehingga klien cenderung untuk memilih harga yang murah, sehingga perang harga tak dapat dihindari.

Kondisi di atas menggambarkan bahwa Lanskap industri EPC dunia berkembang semakin dinamis dengan makin agresifnya perusahaan EPC global di China ,India, Korea untuk merambah pasar ekspor .Disamping itu kebutuhan negara berkembang akan infrastruktur semakin tinggi namun tidak dibarengi pembiayaan yang cukup, sehingga skema PPP makin sering digunakan,termasuk mengundang perusahaan EPC sebagai investor.

Di Indonesia bisnis EPC dipelopori BUMN seperti PT Rekind dan beberapa business unit dari BUMN Karya seperti Wijaya Karya dan Waskita Karya . Kinerja dalam beberapa tahun terakhir relative stagnan ,bahkan ada kecenderungan menurun. Misal Rekind pernah berjaya pada sekitar 2010?2011 dengan mencatat rekor Sales di atas 20 T per tahun, bahkan masuk 200 besar perusahaan EPC dunia, namun kemudian kinerja merosot . Tahun 2016 penjualan Rekind hanya mencapai sekitar 4 T (non konsolidasi) . Kondisi ini tentu tidak menggembirakan dilihat dari perspektif bahwa Indonesia sedang focus membangun infrastruktur dan kesempatan terbuka luas bagi bisnis EPC untuk berkembang.

Tantangan ke depan yang harus ditangani perusahaan EPC Indonesia adalah bagaimana merebut kembali potensi domestik dari serbuan global EPC. Dalam keterbatasan resources ,musti dibuatkan alternatif terobosan untuk merebut pasar. Value chain analysis bisa dilakukan untuk membuat peta baru berbisnis dengan mengkonsolidasikan bisnis inti dan focus pada segmen yang prospektif. Kelemahan pada aspek pendanaan bisa diperkuat dengan mengundang investor baru atau kerjasama operasi dimana perusahaan EPC Indonesia menawarkan kompetensi keahlian teknis dan pihak mitra menyokong pendanaan. Bahkan dalam konteks BUMN bisa menggunakan "senjata" sinergi BUMN untuk merebut pasar domestik ,terutama di segmen infrastruktur dan energi.

Biro Riset BUMN Lembaga Management
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LM?FEB UI)