Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Privatisasi BUMN : Komparasi Indonesia-Malaysia

Recent Studies

by brg

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Privatisasi BUMN : Komparasi Indonesia-Malaysia

Privatisasi BUMN merupakan fenomena yang terjadi di negara maju dan berkembang, dilakukan secara intensif terutama pada awal dekade 1980 an dengan Inggris di bawah Thatcher sebagai motornya.

Oleh: DR Toto Pranoto

**

1. Latar Belakang

Privatisasi BUMN merupakan fenomena yang terjadi di negara maju dan berkembang, dilakukan secara intensif terutama pada awal dekade 1980 an dengan Inggris di bawah Thatcher sebagai motornya.

Privatisasi BUMN yang banyak dijalankan terutama di negara berkembang sering menimbulkan kontroversi terkait dengan tujuan, motivasi, serta implementasi yang sering disertai dengan banyak distorsi. Beberapa pemikiran yang muncul mendukung privatisasi sebagai suatu konsep untuk menciptakan perbaikan kinerja BUMN, sementara pemikiran lain melihat langkah restrukturisasi BUMN lebih tepat dilakukan untuk menghindarkan efek buruk privatisasi.

Privatisasi BUMN di Indonesia dan Malaysia telah intensif dilakukan sejak 2 dekade terakhir .Dengan latar belakang, tujuan, serta motif yang tidak persis sama maka privatisasi yang dijalanlan di ke dua negara telah menghasilkan transaksi privatisasi yang signifikan dalam jumlah dan nilai transaksi. Apakah privatisasi yang dijalankan mampu merubah kinerja BUMN dan bagaimana pengaruh aspek politik, organisasi dan kebijakan (policy) terhadap keberhasilan privatisasi merupakan hal yang akan dianalisis dalam penelitian ini.


2. Landasan Teori

Apabila ditinjau dari perkembangan teori adminsitrasi publik, Privatisasi merupakan buah dari Kritik terhadap model administrasi publik klasik yang kemudian melahirkan konsep manajemen publik baru (New Public Management).

Konsep NPM muncul pada tahun 1980 an dengan Sasaran utama yang ingin dicapai adalah perubahan cara pengelolaan pemerintah dalam penyampaian pelayanan kepada masyarakat dengan penekanan pada orientasi pasar (market orientation) sehingga mampu menghasilkan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik.

Konsep NPM memfokuskan diri pada pemisahan birokrasi pada unit yang lebih kecil, kompetisi antara pemerintah dan swasta dalam penyediaan jasa publik, dan perubahan motivasi dari sekedar pelayan publik menjadi motif ekonomi, dengan memberikan insentif pada pelayanan publik seperti yang diberikan dalam usaha swasta. NPM menekankan performance sebagai kriteria utama, dengan menerapkan teknologi manajemen yang digunakan di lingkungan swasta ke lingkungan publik.

Menurut Farazmand (2003)*, NPM timbul sebagai reaksi atas perubahan lingkungan yang terjadi dalam 2 dekade sejak awal 1980 an. Perubahan lingkungan tersebut meliputi antara lain besarnya alokasi budget untuk sektor publik yang kemudian mendorong langkah efisiensi dan pemotongan budget, tumbuhnya inovasi teknologi terutama teknologi informasi, pengaruh globalisasi ekonomi yang menjadikan efisiensi sebagai kata kuncinya, liberalisasi ekonomi sebagai response atas mismanagement, korupsi, manajemen sumberdaya yang tidak efisien dan birokrasi yang rumit, serta tuntutan publik atas barang dan jasa yang berkualitas sehingga setiap organisasi harus fit menghadapinya. Meskipun NPM memiliki beberapa variasi nama seperti managerialism (Pollit, 1990), market-based public adminstration (Lan & Rosenbloom, 1992), serta entrepreneurial government (Osborne & Gaebler, 1992), prinsip dasarnya memiliki kesamaan yaitu perubahan pada konsep administrasi publik yang konvensional. Perubahan tersebut mencakup aspek government organization meliputi : control of public organizations, control of output measures, management practice, serta discipline in resource use.

*1 Farazmand, Ali .2003. Origin, Ideas and Practice of New Public Management .Asian Affairs, Vol 25, No 3 : 30-48, July-September 2003

Upaya yang terus dilakukan dalam rangka reformasi administrasi (administrative reform) untuk memperkuat administrasi publik diantaranya adalah melalui:

Decentralization, Downsizing and Restructuring the Government Machinery, Information and Communication Technologies, Contracting out and Outsourcing, Debureaucratization, Privatization, and Deregulation (Mhina, 2008)*.

Dash dan Abbott* menyatakan NPM sebagai upaya membongkar model lama birokrasi administrasi publik dengan mengintroduksi kompetisi dan keterlibatan sektor swasta kedalam sektor publik. Mereka memasukan juga unsur change traditional bureaucracy dan reduce the size of the public sector sebagai bagian dari ciri NPM, terlihat secara skematik dalam Gambar 1.1.

*2 Mhina,Charles E, 2008 ,Essential Characteristic of new public management and administrative reforms that need to be adopted to strengthen public administration
*3 Dass,Mohan dan Abbott, Keith. Modelling New Public Management in Asian Context :Public Sector Reform in Malaysia .The Asia Pasific Journal of Public Administration Vol 30 .No 1 (june 2008)


Gambar 1.1. General Model of New Public Management
Sumber : Dash & Abbot (2008)


Para penganjur kebijakan privatisasi mendasarkan diri pada teori privatisasi seperti Property Right Theory, Public Choice Theory, serta Dispersed Knowledge Theory yang digagas oleh Vickers & Yarrow, Schleifer & Visney, Cowan, Savas, dan beberapa ilmuwan lainnya.
Savas (2000)* menjelaskan pilihan restrukturisasi dan privatisasi BUMN berdasarkan posisi perusahaan yang digambarkan dalam matrix profitability dan industry competitiveness seperti terlihat pada gambar 1.2.

*4 Savas,E.S, 2000. Privatization and Public Private Partnership .Chatham House Publishers


Gambar 1.2
Matrix keterkaitan industry attractivenss & enterprise profitability
Source: Adapted from B. Jacquillat, Destatiser (Paris: Editions Robert Latfont), 138


Menurut penelitian Abravanel (2006)*, benefit yang diterima pemerintah dari privatisasi BUMN bukan sekedar hasil penjualan saham di BUMN tersebut (IPO Proceed) melainkan juga meliputi tertariknya investor lokal dan asing untuk masuk dalam industri, peningkatan efisiensi dalam pengelolaan BUMN sehingga tariff bisa lebih murah dan kualitas barang/jasa lebih baik, kesempatan BUMN menjadi regional/global champion karena lingkungan usaha yang lebih kompetitif, sehingga akhirnya dapat meningkatkan shareholder value bagi para pemegang saham.. Hal ini diilustrasikan dalam Gambar 1.3

*5 Abravanel,Roger, 2005, “Key lessons from Successful Privatization”, Privatization Barometer Workshop,Rome

Gambar 1.3 Value Improvement Process
Sumber : Roger Abravanel, McKinsey, 2005

Berbagai penelitian tentang kinerja privatisasi BUMN, seperti yang disarikan oleh Megginson & Netters (2001)* menyimpulkan bahwa BUMN pasca privatisasi umumnya mengalami perbaikan kinerja operasional dan finansial seperti diukur dari indikator real sales (output), profitability, efficiency (tingkat penjualan per pegawai), peningkatan belanja modal (capital spending) dan menurunnya angka hutang (leverage). Penelitian privatisasi di negara berkembang seperti yang dilakukan Boubakri dan Rondinelli (2000)* menunjukan bahwa faktor utama keberhasilan privatisasi bukan ditentukan semata oleh proses transfer kepemilikan saham, namun juga sangat dipengaruhi faktor institusional seperti bagaimana kebijakan pemerintah dalam perdagangan bebas (trade openness), terbukanya iklim kompetisi, dan kesiapan infrastruktur pasar modal. Studi Villalonga dan Wattanakul (2000)* menunjukkan pentingnya faktor politik, organisasi, serta kebijakan dalam mempengaruhi kesuksesan privatisasi. Peningkatan kinerja BUMN tidak saja terjadi karena perpindahan transfer kepemilikan dari pemerintah ke sektor swasta, namun juga ditentukan oleh bagaimana lingkungan politik yang kondusif, faktor organisasi yang memungkinkan tumbuhnya semangat corporate entreprenership, serta faktor kebijakan untuk mendukung tumbuhnya industri yang sehat.


*6 Megginson, William, Netter J.N, 2001. From state to market: a survey of empirical studies on privatization, journal of economic Literature 39, 321-389
*7 Boubakri,Narjess and Coseet,Jean-Claude ,2000. Aftermarket Performance of privatization offering in developing countries
*8 Villalonga,B, 2000. Privatization and efficiency ; Differentiating ownership effects from political, organizational, and dynamic effects. Journal of Economic Behaviour and organization 42, 43-74


Namun demikian privatisasi dianggap bukan satu-satunya jalan untuk perbaikan kinerja BUMN . Stiglitz (2004) menganggap Prioritas sebaiknya lebih ditekankan pada upaya membangun pasar dibandingkan privatisasi. Membangun pasar berarti mendorong kompetisi. Untuk pasar terregulasi (regulated market) membangun perangkat kelembagaan menjadi prasyarat sebelum dilakukan privatisasi. Pendapat serupa disampaikan Rondinelli (2005) dan Chang (2007). Sementara Tan (2007)* menyatakan bahwa proses privatisasi sering mengalami kegagalan di negara berkembang karena motivasi politik lebih kuat dibandingkan keinginan untuk menyehatkan BUMN itu sendiri. Political motivation itu biasanya terkait dengan politik redistribusi kesejahtraan yang ditujukan hanya pada kelompok tertentu saja.

Menurut Haque (2000)*, dibalik alasan formal privatisasi yang dinyatakan oleh banyak negara-negara berkembang (seperti meningkatkan efisiensi, meningkatkan kepemilikan publik, mengurangi defisit, meningkatkan kompetisi, serta perbaikan service quality), terdapat beberapa alasan kritis yang sesungguhnya menjadi penyebab mengapa privatisasi dijalankan di negara berkembang. Pertama adalah faktor ideologi, dimana dengan dominanya ideology neoliberal (new right) yang mendewakan kebijakan pro pasar (deregulasi, free trade, pemotongan subsidi, direct foreign investment), dipicu oleh langkah konservatif Thatcher dan Reagan di awal dekade 1980 an, maka negara-negara berkembang yang banyak dikendalikan oleh teknokrat lulusan AS atau Inggris (Eropa Barat pada umumnya) terbawa arus untuk menjalankan privatisasi. Hal ini diperkuat pula dengan pengaruh yang dibawa oleh organisasi donor seperti USAID dan lembaga keuangan internasional seperti IMF dan IFC yang mempromosikan privatisasi sebagai obat manjur bagi negara berkembang untuk meningkatkan daya saing ekonominya.

*9 Tan, Jeff, 2007, Privatization in Malaysia; Regulation, rent seeking and policy failure, Routledge Publication
*10 Haque, M.Samsul, 2000, Privatization in Developing Countries; Formal Causes, Critical Reason, and Adverse Impact, in Ali Farazmand (ed) Privatization or Public Enterprise reform? (Westport,Conn : Greenwood Press, 2000, pp 217-238


Kedua adalah faktor tingginya hutang luar negri di negara-negera berkembang, sehingga mereka dipaksa oleh lembaga seperti IMF/IFC/ADB untuk melakukan privatisasi sebagai bagian dari komitmen hutang yang diberikan. Disini alasan privatisasi bukanlah ideologi, melainkan adanya tekanan eksternal.

Ketiga, privatisasi dilaksanakan untuk kepentingan kelompok politik tertentu (vested political) dan kelompok ekonomi tertentu (economic interest gainer). Di negara maju seperti Inggris, privatisasi dipakai sebagai alat politik untuk memenangkan pemilu dan bahkan melemahkan kelompok oposisi seperti terjadi pada era Thatcher. Di negara-negara berkembang seperti Asia dan Amerika Latin, kelompok ekonomi dan politik tertentu memperkaya diri dengan kebijakan privatisasi yang undervalue.. Pihak lain yang menikmati privatisasi ini adalah beberapa konsultan multinational seperti McKinsey, Arthur Young & Co, Coopers & Lybrand, dimana mereka menerima jasa konsultasi yang sangat mahal untuk suatu proses privatisasi. Bahkan Chapman (1990)* membuat pernyataan menarik ”....Ironically, as the century draws to a close, the British, the Belgians, and the French are back in Africa and Asia, not as colonialist, but as highly-paid professional adviser, invited to produce reports on how privatization, including transnational ownership of state enterprises, can revitalize depressed and bankrupt economies”

Tuntutan kepada sektor usaha termasuk BUMN untuk melakukan reformasi dalam tata kelolanya (corporate governance) juga meningkat seiring dengan tuntutan agar korporasi lebih accountable dan responsif terhadap tuntutan konsumen. Isu pokok teori keagenan dalam privatisasi meliputi internal control mechanism dan external control mechanism.

*11 Chapman, Collin (1990). Selling the Family Silver: Has Privatization Worked ? London: Hutchinson Business Book Limited


Internal control mechanism meliputi kegiatan memonitor BOD oleh manajemen puncak (Fama dan Jansen 1993 ; Johnson, Hoskisson and Hitt, 1993), pemberian penghargaan (reward) dan perubahan struktur korporasi. Sementara external control mechanism meliputi pekerjaan : hostile takeover, leverage buyout, proxy contest, serta legal protection of minority shareholder right (Boyd, 1994 ; Walsh dan Seward, 1990).

Simon Wong (2004)* menyatakan tuntutan atas corporate governance didorong oleh kuatnya dorongan dari pihak stakeholder (terdiri atas pihak Regulatory, External Scrutiny, Internal, serta tuntutan Pasar Modal). Pihak Regulator ingin terhindar dari systemic risk sehingga memastikan bahwa governance dilaksanakan. Sementara tuntutan investor di pasar global juga mengharapkan transparansi yang semakin luas. Dari segi internal perusahaan adanya tuntutan untuk rapid growth dan transisis dari model family business menyebabkan governance juga menjadi penting. Sementara faktor eksternal tentunya terkait dengan tuntutan stakeholder untuk lebih transparan bagi perusahaan.

*12 Wong, Simon.2006. Corporate Governance in State Own Enterprises. Mckinsey Company, Washington DC

Karakteristik BUMN yang memiliki banyak tujuan dan kadang bersifat conflicting, kuatnya intervensi politik, serta kurangnya transparansi menyebabkan BUMN memiliki governance yang unik dibandingkan sektor swasta. Dari sisi negara terdapat tantangan berupa banyaknya kepentingan dari berbagai badan negara/Kementerian untuk intervensi pengelolaan BUMN. Dari sisi Dewan Pengawas terdapat tantangan berupa lemahnya otoritas mereka untuk mengawasi dewan direksi serta posisi mereka sebagai pejabat birokrasi yang memiliki keterbatasan waktu untuk mengawasi BUMN. Sementara di sisi manajemen pengelola BUMN sering menghadapi tantangan berupa buruknya sistem remunerasi dan rendahnya disiplin manajemen. Untuk mengatasi hal tersebut maka pemerintah disarankan untuk fokus pada pengembangan BUMN dengan mengedepankan 3 prinsip utama, yaitu clear objectives (terdapat mandat yang jelas bagi pengelola BUMN sehingga mereka hanya bertanggung jawab pada satu pintu dan kejelasan objective perusahaan apakah bersifat komersial atau social), transparency(prinsip high disclosure baik untuk pemerintah maupun BUMN) dan political insulation (dimana tugas pemerintah dibatasi sebagai pengawas dan pengarah, sementara pengelola dilakukan oleh professional secara mandiri) sehingga governance BUMN dapat dijalankan dengan baik. Konsep tersebut diilustrasikan seperti terlihat pada gambar 1.4 .


Download artikel selengkapnya